02 Februari 2016

Jamur Tiram Jambi



Jamur tiram atau bahasa latinnya (Pleurotus ostreatus) mulai dibudidayakan tahun 1900.

Budidaya jamur ini tergolong sederhana. Jamur tiram biasanya dipeliharan dengan media tanam serbuk gergaji steril yang dikemas dalam kantung plastik / baglog.


Media tanam dan komposisi

Media tanam Pleurotus ostreatus yang digunakan adalah jerami yang dicampur dengan air, dedak 10% dan kapur 1%. Fungsi dari jerami adalah sebagai bahan dasar dari pertumbuhan jamur.

Jerami mengandung lignin, selulosa, karbohidrat, dan serat yang dapat didegradasi oleh jamur menjadi karbohidrat yang kemudian dapat digunakan untuk sintesis protein.

Air pada jerami berfungsi sebagai pembentuk kelembapan dan sumber air bagi pertunbuhan jamur.Dedak dan kapur merupakan bahan tambahan pada media tanam Pleurotus ostreatus.

Dedak ditambahkan pada media untuk meningkatkan nutrisi media tanam, terutama sebagai sumber karbohidrat, karbon, dan nitrogen. Kapur merupakan sumber kalsium bagi pertumbuhan jamur. Selain itu juga kapur berfungsi untuk mengatur pH media pertumbuhan jamur

Sebagai Petani Jamur Tiram anda dapat datang langsung untuk, sharing, belajar dan berbagi ilmu, ke Lokasi Kumbung jamur kami dengan alamat sbb :

RUMAH JAMUR NALINI

Jl. Pattimura Perum Guru 
Lrg. Sidomulyo No. 166
Kampung Bugis
Jambi

Tlp. 0813 73349268

menyediakan :

Bibit Jamur f1, f2, f3, Baglog siap tumbuh, Jamur tiram segar, dll.

Baca Selengkapnya....

21 Desember 2008

Pulang

Malam 23.00 Wib. laju roda membawaku kembali. kembali menjumpai objek kerinduan. rasanya sudah lama sekali tak pulang. padahal baru sebentar ketika kulihat tanggalan. penat sepertinya tak tertahankan lagi, rasa bosan dengan rutinitas mengabdi pada pekerjaan. membuat jiwa semakin keras. mungkin lapangan serta kondisi menempa jiwa.
Namun aku rindu. rindu dengan ketenangan rumah dan seisinya. rindu dengan hembusan angin jendela kamar. rindu dengan kepulan asap rokok yang melewati lubang-lubang angin tempat tidur.

tentu saja aku merindui dia. ya dia yang selalu saja membuatku merasa terpuruk dalam rindu. waktu tak terasa berlalu seiring dengan putaran roda-roda yang membawaku kembali. 4.00 pagi sepatu kusam ini menginjak beton cor depan rumah. terpaksa loncat pagar karena gembok menghalangi langkah.

aku pulang, rumah dan seisinya., bisik dalam hati. aku rindu kalean. apalagi kamu. padahal kamu dekat di hatiku, dekat sekali bahkan. tapi aku tak bisa menjangkau kamu. seperti jauh sekali. rindu mungkin penyebapnya. aku maklum. karena aku manusia.

namun malam ini langkah segera membawaku pergi,

Baca Selengkapnya....

21 November 2008

Ya, ia berwarna biru





malam ini, pada lorong-lorong kereta aku hadapkan pandanganku. Lurus ke depan Tak mau menengok keluar jendela, takut pandangan menjadi pecah karena terlalu jauh. Segelas kopi, sebatang rokok lalu melamunkan kamu yang terbekap rindu. Pulang, aku segera pulang. Kereta ini mengusungku untuk melepasmu dari bekapan rindu. Percayalah, nasib kita sama. Ya, ia berwarna biru..
Rindu..

Baca Selengkapnya....

17 November 2008

Diantara sambungan gerbong kereta


Sudah lama tak naik kereta, malam ini 20.30 wib tampak seperti 2 tahun yang lalu.
Ya, 2 tahun yang lalu terakhir kalinya bercengkrama dengan gerbong - gerbong dan suara gesekan baja rel kereta, sepertinya rindu ini mulai terobati. KA Sindang Marga namanya, Jurusan palembang - Lubuk linggau, 2 Tahun lalu naik kereta ini ketika mau melihat sunrise di Bukit Kaba. Cuma malam ini naiknya di gerbong orang kaya, Excecutive class, yang wc-nya tidak begitu mengeluarkan bau anyir, seperti kelas ekonomi. Tapi tetap saja aku duduk diantara sambungan gerbong kereta karena tak kebagian tempat dan tiket lagi. cukup nyaman karena tak perlu berdesak - desakan dengan sesama penumpang untuk meletakkan pantat diatas koran. Ya tadi sempat beli koran yang terbitnya sudah dua hari yang lalu, Harganya 1000 rupiah. sebagai teman pantatku untuk sampai ke stasiun tujuan.


Kereta mulai berjalan perlahan, lalu perlahan - lahan mulai menambah kecepatan, guncangan - guncangan mulai terasa, suara - suara bising mulai mengganggu pendengaran. Kulihat sebentar kedalam gerbong kereta, tampak orang - orang duduk dengan asiknya, AC-nya dingin dan suara suara bising tidak sampai ke telinga mereka, karena pintu2 tertutup rapat daripada menimbulkan rasa iri, lalu aku mulai membuang pandanganku keluar pintu kereta, hanya warna gelap tersajikan disini sesekali tampak warna kuning menyala dari kejauhan. Bingung mesti harus bagaimana, kepengen baca buku tapi lupa dibawa, padahal sore tadi sedang asik baca buku
"Tenggelamnya kapal Van Der wick" miliknya Hamka pinjaman ibu dari perpustakaan sekolah. rencananya mau bawa dua buku, buku Hamka dan buku Es. Ito " rahasia meede". untunglah pena masih terbawa, jadi bisa menulis.

Kereta api mulai terasa cepat.
malam pun semakin menunjukkan gelapnya, kereta api dulu merupakan alat transportasi idola ketika masih kuliah, kemana-mana pasti naiknya kereta api, gerbong ekonomi pastinya. Karena kelas ekonomi sangat sesuai sekali dengan kantong celana serta uang yang diberi oleh ibu. Ketika kereta mulai berjalan biasanya peluh tubuh mulai menetes perlahan - lahan, karena panas matahari mulai membuat pengap seisi kereta,Teriakan - teriakan penjual minuman, nyanyian- nyanyian pengamen jalanan, ditambah lagi bau-bau tak sedap dari berbagai sudut kereta, semua menjadi satu kesatuan yang utuh apalagi kalau kereta api sedang berhenti bau pesing berhamburan mengantri masuk kelubang hidung, jadi tak sabar ingin segera sampai.


Sebuah petualangan perjalanan dengan transportasi ini, banyak hal yang bisa aku saksikan mulai dari garis kemisikinan yang terlihat jelas, hingga kekerasaan.yang terkadang terlihat jelas didepan mata kepalaku. Kehidupan yang keras menempah mereka menjadi pribadi yang bengis, berpacu melawan dinginnya angin gerbong kereta, berlomba dengan cepatnya laju kereta tetapi akrab dengan peluh dan sumpeknya kereta, menyaksikan rawa dan hutan -hutan yang tampak belukar melewati stasiun demi stasiun untuk mencapai stasiun tujuan, menjalani proses untuk sampai dengan peluh serta pusing akibat sumpeknya kereta, ya seperti proses untuk menjadi dan terus menjadi manusia yang seutuhnya, seperti proses hidup untuk menjadi manusia yang benar - benar manusia, lahir, tumbuh menjadi balita, kemudian menjadi remaja lalu menjelma menjadi dewasa, seperti proses menumpang kereta.


Malam semakin tinggi, namun mata belum terasa berat, rasanya aku mulai akrab lagi dengan suasana semacam ini, dua tahun yang lalu sepertinya telah kembali. Diatas sana bulan secuil menerangi lajunya gerbong kereta.


Sindang marga, 16 november 08
Diantara sambungan gerbong kereta.

Baca Selengkapnya....

13 November 2008

385 km dan rindu





kembali lagi kuselami dirimu lewat secangkir kopi, sebuah lamunan. 385 km jarak membentang, perjalanan memasung rinduku.

Baca Selengkapnya....

28 Oktober 2008

Cukup baca saja















Hei pemuda, dan anak cucu kalian!
baca sejenak sumpah pemuda oktober 1928
tak perlu repot kau menghapal cukup baca saja.

Baca Selengkapnya....

13 Oktober 2008

Celoteh anak Cucuku nanti


sesegera mungkin aku meraih selimut, karena dingin malam itu mulai mengusik persendian tulang. pagar alam malam itu tampak sunyi, gemericik hujan memberikan nada ketika jatuh ke atap tempat kami bermalam. jagung rebus, kacang rebus, serta kopi hangat membuat obrolan bertambah meriah saja. " ini kopi asli " ucap Bapak yang punya rumah. hirup demi hirup kopi hangat yang kami teguk terselingi dengan raungan knalpot sepeda motor anak-anak setempat yang memusingkan telinga memekakkan kepala tak jarang terdengar celoteh kotor dari kami. kembali menyeruput kopi.


pemantik api menyala, tembakau terhisap ke dalam paru-paru. lalu obrolanpun dimulai. masing -masing kami bercerita tentang pengalaman masing-masing. tak lama kemudian seorang teman mengeluarkan bungkusan plastik berisikan kue. bingkisan dari istri katanya. satu persatu kue kami amati. lalu masing-masing tersenyum ketika melihat kue satu. seakan tersibak semua kenangan pada masing-masing kami. ya kenangan dengan kue satu.

dari kecil hingga sekarang kue itu tetap satu, tak pernah menjadi kue dua. senyum renyah terselipkan disela-sela gigitan diiringi hirupan kopi yang mulai sedikit dingin.


jadi ingat tentang hidangan lama yang kerap kali ada di setiap hajatan jaman dulu, ketika masih anak-anak. sagon namanya. tampak simpel dan sederhana karena terbuat dari tepung beras dan kelapa goreng. dulu sering di jual di warung-warung kaki lima seberang SD. Ketika istirahat sering sekali mengkonsumsinya. walau tak membuat kenyang tapi yag pasti menggoreskan kenangan.


malam itu masing-masing dari kami seakan punya memori - memori tersendiri. ketika bercerita tentang sagon dan kue satu. kemudian kenangan-kenangan akan hal lain jadi teringat. ingat akan Kunang-kunang, ingat kupu-kupu, Ingat pelangi. dulu ketika maghrib bersiap pergi kunang-kunang hadir memberikan hijau pada hitamnya malam. dulu ketika hujan berhenti dan panas mulai hadir tampak pelangi melengkung berwarna-warni. bahagia rasanya menjadi anak-anak pada waktu itu. kunang-kunang, kupu-kupu, pelangi seperti menjadi harta warisan masa kecil.


kini, Kunang-kunang serta pelangi tak pernah lagi hadir ketika sagon dan kue satu dinikmati selesai mandi. entah mengapa zaman menjadi berubah seperti ini. memang perubahan harus terjadi dan zaman tak pernah bisa dilawan untuk bermetamorfosa. saya menjadi takut, jangan-jangan nanti anak dan cucuku tak pernah tahu bagaimana rupa si belalang apalagi menggambarkan pelangi. namun berceloteh "Pok ame-ame Belalang Kupu-kupu..". "Pelangi-pelangi alangkah Indahmu.."


kopi mulai dingin, tembakau masih saja terbakar dikatupan bibir.

Baca Selengkapnya....

04 Oktober 2008

lebaran dan sebuah filosofi



Beberapa hari yang lalu selesai shalat Ied, saya mempertemukan rindunya lidah dengan ketupat-ketupat Ibu. Tampak berseri mukanya ibu ketika anak-anaknya melahap habis hidangan di atas meja. Tawa canda senyum bahagia bergantian hadir pada masing-masing kami. jadi ingat dulu ketika kami masih menjadi bocah.

dulu ketika masih kecil, sebelum lebaran saya selalu sibuk mengisi ketupat-ketupat Ibu. pernah sekali nenek mengambil sebuah ketupat ditanganku. lalu nenek membongkar anyaman ketupat itu. kemudian memberikannya lagi kepadaku. Beberapa saat seperti linglung karena sama sekali tidak mengerti cara menganyam helai demi helai daun nyiur itu. Nenek pun tersenyum lalu menganyam kembali ketupat itu sambil mengajarkan saya bagaimana cara membuat ketupat.

sekarang ketika saya tidak pernah lagi membantu ibu mengurusi ketupat-ketupat. kemudian ingat pelajaran nenek dulu. sebuah pelajaran filsafat. tanpa disadari nenek telah mengajarkan saya cara menganyam. ya saudara ia mengajarkan cara menganyam hati. mengajarkan untuk menghargai sebuah karya, bukan hanya bisa merusaknya saja. kemarin lusa ketika makan ketupat di depan nenek ingin rasa nya mengingatkannya dengan cara membongkar ketupat di tangannya.

Baca Selengkapnya....

Pram

Pram memadukan pertautan antara kebenaran dan keadilan. Kemudian melahirkan sesuatu yakni keindahan. Keindahan yang dipahami Pramoedya tidak sama dengan keindahan yang dikonsepsikan oleh kalangan Balai Pustaka dan pewarisnya, yakni kemahiran mengutak-atik bahasa. Bagi Pramoedya, keindahan terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan, bukan dengan cara mengutak-atik bahasa.

Lalu ia pun dituduh komunis karena “keindahan” yang diyakininya itu. Dengan simpul keyakinan berkaryanya Pram menjadi buku yang mengambil sikap menolak tuduhan sebagai komunis walau ada beberapa sikap kesastraannya bertemu secara khusus, seperti menulis bukanlah kerja salon para pesolek yang bersunyi-sunyi ria bahasa sastranya, tapi kerja dalam pusaran perikehidupan rakyat banyak yang tertindas. Posisinya pun bisa disamakan dengan John Steinbeck. Steinbeck adalah pengarang yang memperjuangkan nasib buruh tani di California dengan melukiskan kesengsaraan mereka. Seperti halnya Pram, ia menuliskan keadaan manusia yang dilupakan, yang ditindas, atau dianggap sampah oleh masyarakat. Karyanya The Graps of Wrath sempat menimbulkan reaksi dari masyarakat termasuk anggota Konggres AS. Dan tak main-main, buku ini mengantarkan Steinbeck menyandang stigma sebagai “komunis”.
Dan Pram juga bernasib sama; hanya karena ia dan buku-bukunya menyeru, menyeru, menyeru, karena revolusi menghendaki semua-mua pengorbanan.

Ya, Pram memang buku yang kukuh dengan sikap individualitasnya yang menjulang. Ia ingin merangkum segalanya dalam dirinya. Termasuk persepsi tentang negara, pemerintah, perilaku pembesar-pembesarnya, erangan manusia-manusia yang dibekuk olokan sebagai sampah-sampah dalam masyarakat. Ia adalah buku yang bersikap, mandiri, dan konsisten. Jasad Pram telah turun ke liang gelap. Pram tiada. Tapi bukunya tetap hadir. Pikirannya gentayangan.
Surga pun mungkin tak ada buat Pram, sebab ia memang tak hadir di sana . Pram hadir dan tertinggal di setiap nadi pembacanya yang mencintai sepenuhnya sosok-sosok yang mengembara dalam buku Pram; bahkan pembaca-pembaca terjauh yang tak pernah Pram bayangkan sosoknya.

Di hati jutaan pembacanya itulah surga terindah Pram. Dan di surga itu, Pram hadir dan suaranya menggema serta terus menyeru, menyeru, menyeru: “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi. Jangan jadi pengonsumsi. Negara ini sudah terpuruk karena konsumsi terus-terusan. Bahkan tusuk gigi pun harus diimpor.Memalukan.”

Baca Selengkapnya....

Kagum


PRAMOEDYA ANANTA TOER adalah buku. Buku yang seutuh-utuhnya buku. Karena ia buku yang besar, meluas, dan berwibawa, maka ia abadi: scripta manent verba volant (tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin).
Pram memang telah berangkat dengan kereta api pagi pada Ahad ( 30/4/2006 , 08.55)—dua hari setelah hari pergi penyair Chairil Anwar—di usia 81 tahun 84 hari. Tapi Pram sangat yakin bahwa ia akan abadi. Dan keyakinan itu sudah ia tuliskan dalam sebuah artefak utuh tanpa ragu di halaman 356 kuartet keempat Buru , Rumah Kaca : “Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”
Pram memang bukanlah buku yang biasa. Buku yang datang tergesa-gesa, cepat, dan setelah itu dilupakan orang. Pram juga bukan buku cengeng, picisan, dan penuh cekikikan. Sebab hidup Pram adalah hidup yang selalu sepi, sunyi, disiakan, sekaligus keras dan berjelaga. Nasib dan respons kehidupan yang tak memanjakan membawanya menjadi buku yang selalu tegak menantang cadas atau apa pun yang mengganggu otonomi tubuh dan pikiran dan ideologinya.
Bahkan kesadaran melawan yang berkobar itu tetap ia perlihatkan hingga ajalnya menjemput. Bagaimana Pram seusai lolos dari maut yang datang menggerayanginya di ICU St Carolus Jakarta pada Sabtu sore ( 29 April 2006 pukul 16.37)—16 jam sebelum keberangkatannya—ia langsung meminta pulang dan berusaha melepaskan semua selang-selang infus yang meliliti tubuhnya dan menusuk-nusuk kulitnya.
Seberapa pun usaha dokter dan keluarga mencegahnya, tetap saja tak berhasil. Dan itulah Pram. Ia akan menolak apa pun yang asing baginya, yang mengisap dan mencucupi keyakinannya. Ia adalah Pramis; individu yang percaya akan kemampuannya dan karena itu ia lampaui otoritas dari siapa pun. Termasuk dokter dan rumah sakit. Sebab yang tahu diri manusia itu adalah dirinya sendiri. Pram sungguh sadar dengan konsepsi itu. “Bahkan dengan Tuhan pun aku tak mau meminta,” katanya.
Mungkin, karena sikap konsistensi yang bertumpu pada diri sendiri itu, ia kerap disalahpahami sebagai buku yang kaku, keras, dan sama sekali tak menarik. Mochtar Lubis, lawan politik sastranya, berkata tatkala ditanyai tentang kesannya dengan Bumi Manusia oleh Denny JA: “Buku apaan itu. Datar. Tak menarik. Hanya dua halaman saya tahan membacanya.” Ajib Rosyidi berkata: “Jangan harap karya Pram ada adegan seks yang menegangkan. Membaca percintaan antara Minke dan Annelis saya sama sekali tak terangsang. Malah lucu menurut saya.”
Pram memang bukan buku yang lemah, gemulai, dan menebar senyum. Ia adalah buku yang tegak menantang siapa pun. Tapi ia berdiri tidak dengan segerombolan serdadu dengan samurai terhunus, tapi menantang dengan senjata bernama buku. Tak ada apa pun selain itu. Pram sendiri kita tahu adalah pribadi yang introvert, tak gaul, dan rendah diri. Bukulah yang membuatnya menyala. Serupa api yang menjilat-jilat. Dan ia datang memang untuk membakar dan melecut semangat perlawanan kalangan muda dan juga dirinya sendiri.
Bagi Pram, menulis adalah melawan. Dan Pram yakin bahwa perlawanan itu bisa dilakukan dengan menulis buku, seperti halnya ia lakukan. Bagi Pram, buku adalah visi, sekaligus sikap. Perjuangan tanpa visi adalah perjuangan yang hanya menanti mati disalip kekuasaan pragmatis setelah riuh pasar malam perjuangan usai diteriakkan. Bukulah yang membuat Pram tidak menjadi massa atau gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terhempas jadi sampah di pantai.
Buku adalah obor, sekaligus kemudi bagi sejarah. Lihatlah, dengan buku Pram menawarkan sejarah yang dipahaminya. Celakanya, sejarah yang dikandung buku Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dikreasi negara.
Dan dengan buku pula, Pram kemudian membangun presepsi yang sama sekali baru tentang apa arti Indonesia , Nusantara, peradaban-peradabannya, serta sejarah orang-orang yang bergolak di dalamnya yang bertarung dalam pusaran sejarah. Terutama sejarah anonim dari orang-orang yang dilindas sejarah.
Dengan begitu, lewat buku Pram menawarkan dunia. Dunia yang diyakininya benar. Dunia orang-orang yang disepelekan sejarah. Orang-orang menyebut usaha ini adalah usaha penulisan sejarah senyap. Yakni, sejarah orang-orang tak terdengarkan. Jika saja bukan usaha Pram menuliskan kembali biografi Tirto Adhi Surjo, mungkin tokoh sentral lahirnya kelompok cendekia yang menulis di awal abad 20-an akan terhapus dari sejarah. Lalu kisah orang-orang anonim, tapi penting dalam proses pembentukan kota , peradaban, dan karakter-karakter yang dikandungnya dibasahi Pram dalam bentuk karya imajinasi. Jadilah dunia dalam buku Pram menjadi dunia tersendiri, merdeka, dan sekaligus merangsang pikiran untuk mendudukkan Indonesia dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan cara menulis buku itulah Pram menawarkan Indonesia kepada dunia. Tak ada yang lain cara efektif yang dipahami Pram selain dengan buku. Terlalu serak dan pendek umur ucapan sebuah pidato atau semua teriakan. Buku yang punya usia memanjang. Buku adalah arsip. Dan arsip adalah nyawa sebuah bangsa, lengkap dengan segerbong kisah-kisah kemenangan dan kekalahannya. Karena itu novelis eksil Ceko, Milan Kundera, menjadi benar ketika berseru: “Untuk menghancurkan sebuah bangsa, bumihangus buku-bukunya. Niscaya bangsa itu akan lupa. Dan saat itulah ia akan hancur.”
Tak hanya itu, dengan buku itu pula Pram memperkenalkan sekaligus memaklumkan dirinya di hadapan publik dunia. Bagi peradaban maju, usaha-usaha yang dilakukan pribadi-pribadi seperti Pram ini mendapat apresiasi dan kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karena peradaban disebut tinggi tatkala masyarakatnya menghormati kerja-kerja arsip dan penulisan. Kerja-kerja itu adalah kerja pengabadian ingatan. Dan Pram melakukan itu dengan tekun dan sungguh-sungguh. Lalu menjelmalah ia menjadi suara lain Indonesia ; suara yang tak seragam sebagaimana yang diyakini rezim yang melingkupinya.
Pram memang berambisi besar menjelaskan Indonesia secara tuntas. Maka dia baca buku-buku sejarah, lalu dia tafsir, dan tafsirnya itu berbuah novel. Namanya novel sejarah. Pram juga tak berkutat pada novel untuk menjelaskan Indonesia . Lalu ia memilih menggunting koran sebagai sebuah kegiatan untuk merangkum Indonesia dalam dunia paling pribadi dan intim Pram. Ia membuat kronik, ia membuat ensiklopedia yang mencitrakan kawasan Indonesia yang beragam, indah, dan kaya tetapi diperintah oleh penguasa-penguasa yang bebal dan jahat.
Kegiatan menulis buku yang setebal-tebal bantal itu dilakukan Pram bukan usaha angin-anginan atau iseng-isengan untuk kebutuhan diri sendiri, tapi diniatkan sebagai tugas nasional. Secara pribadi dan tanpa disokong serta diperhatikan pemerintah, ia bekerja sendiri melakukan itu. Ia bangun sendiri koleksinya, ia rancang sendiri waktu kerjanya dengan kedisiplinan yang luar biasa.
Karena semangat kerja yang dingin, sepi sunyi, dan sendirian itu ia menjadi terlihat sangat individualis dan sekaligus menjadi buku polemis. Sebab ia tak mau menurut dengan asumsi umum yang lazim karena memang masyarakat umum dan pemerintah tak mau tahu dengan dirinya. Dan karakter Pram seperti itu yang menjadikan karakter bukunya menjadi keras dan ofensif.
Sejarah telah mencatat serapi-rapinya bagaimana sikap Pram yang tak mau tunduk kepada aliran kawan-kawan yang dulunya seperjuangan di Gelanggang Merdeka yang juga di sana ia pernah berperan. Ketika ia ditunjuk untuk menjadi pengasuh Lentera, lembar kebudayaan Harian Bintang Timoer yang berafiliasi secara sikap dan mata ideologi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), ia gigih melakukan polemik dan menantang siapa pun di luar posisi dan sikap yang dibangunnya. Salah satu esainya yang keras, panas, dan menantang: “Jang Dibabat dan Jang Tumbuh”, adalah bukti dari mendidihnya polemik. Dan Pram adalah buku yang berada di titik bara itu.
“Dalam menulis saya harus menciptakan kebebasan diri sendiri,” tegasnya. Dan kebebasan itu memang ia ambil. Tak tanggung-tanggung kata-katanya yang ofensif menyeru-nyerukan serangan kepada setiap kelembekan sikap dan ketakjelasan posisi yang itu bisa menghalau jalannya revolusi yang diyakininya membawa Indonesia ke jalur yang benar. Benar atau salah sikap yang diambil Pram dalam irama politik yang menghentak dan meraung-raung waktu itu, Pram dengan kebebasannya sudah memilih posisi dan sikap. Dan pilihan itu mengantarkannya dalam penderitaan yang panjang dan melelahkan.
Alexander Solzhenitsyn

Baca Selengkapnya....