Hei pemuda, dan anak cucu kalian!
baca sejenak sumpah pemuda oktober 1928
tak perlu repot kau menghapal cukup baca saja.
28 Oktober 2008
Cukup baca saja
13 Oktober 2008
Celoteh anak Cucuku nanti
04 Oktober 2008
lebaran dan sebuah filosofi
dulu ketika masih kecil, sebelum lebaran saya selalu sibuk mengisi ketupat-ketupat Ibu. pernah sekali nenek mengambil sebuah ketupat ditanganku. lalu nenek membongkar anyaman ketupat itu. kemudian memberikannya lagi kepadaku. Beberapa saat seperti linglung karena sama sekali tidak mengerti cara menganyam helai demi helai daun nyiur itu. Nenek pun tersenyum lalu menganyam kembali ketupat itu sambil mengajarkan saya bagaimana cara membuat ketupat.
sekarang ketika saya tidak pernah lagi membantu ibu mengurusi ketupat-ketupat. kemudian ingat pelajaran nenek dulu. sebuah pelajaran filsafat. tanpa disadari nenek telah mengajarkan saya cara menganyam. ya saudara ia mengajarkan cara menganyam hati. mengajarkan untuk menghargai sebuah karya, bukan hanya bisa merusaknya saja. kemarin lusa ketika makan ketupat di depan nenek ingin rasa nya mengingatkannya dengan cara membongkar ketupat di tangannya.
Pram
Lalu ia pun dituduh komunis karena “keindahan” yang diyakininya itu. Dengan simpul keyakinan berkaryanya Pram menjadi buku yang mengambil sikap menolak tuduhan sebagai komunis walau ada beberapa sikap kesastraannya bertemu secara khusus, seperti menulis bukanlah kerja salon para pesolek yang bersunyi-sunyi ria bahasa sastranya, tapi kerja dalam pusaran perikehidupan rakyat banyak yang tertindas. Posisinya pun bisa disamakan dengan John Steinbeck. Steinbeck adalah pengarang yang memperjuangkan nasib buruh tani di California dengan melukiskan kesengsaraan mereka. Seperti halnya Pram, ia menuliskan keadaan manusia yang dilupakan, yang ditindas, atau dianggap sampah oleh masyarakat. Karyanya The Graps of Wrath sempat menimbulkan reaksi dari masyarakat termasuk anggota Konggres AS. Dan tak main-main, buku ini mengantarkan Steinbeck menyandang stigma sebagai “komunis”.
Dan Pram juga bernasib sama; hanya karena ia dan buku-bukunya menyeru, menyeru, menyeru, karena revolusi menghendaki semua-mua pengorbanan.
Ya, Pram memang buku yang kukuh dengan sikap individualitasnya yang menjulang. Ia ingin merangkum segalanya dalam dirinya. Termasuk persepsi tentang negara, pemerintah, perilaku pembesar-pembesarnya, erangan manusia-manusia yang dibekuk olokan sebagai sampah-sampah dalam masyarakat. Ia adalah buku yang bersikap, mandiri, dan konsisten. Jasad Pram telah turun ke liang gelap. Pram tiada. Tapi bukunya tetap hadir. Pikirannya gentayangan.
Surga pun mungkin tak ada buat Pram, sebab ia memang tak hadir di sana . Pram hadir dan tertinggal di setiap nadi pembacanya yang mencintai sepenuhnya sosok-sosok yang mengembara dalam buku Pram; bahkan pembaca-pembaca terjauh yang tak pernah Pram bayangkan sosoknya.
Di hati jutaan pembacanya itulah surga terindah Pram. Dan di surga itu, Pram hadir dan suaranya menggema serta terus menyeru, menyeru, menyeru: “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi. Jangan jadi pengonsumsi. Negara ini sudah terpuruk karena konsumsi terus-terusan. Bahkan tusuk gigi pun harus diimpor.Memalukan.”
Kagum
Pram memang telah berangkat dengan kereta api pagi pada Ahad ( 30/4/2006 , 08.55)—dua hari setelah hari pergi penyair Chairil Anwar—di usia 81 tahun 84 hari. Tapi Pram sangat yakin bahwa ia akan abadi. Dan keyakinan itu sudah ia tuliskan dalam sebuah artefak utuh tanpa ragu di halaman 356 kuartet keempat Buru , Rumah Kaca : “Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”
Pram memang bukanlah buku yang biasa. Buku yang datang tergesa-gesa, cepat, dan setelah itu dilupakan orang. Pram juga bukan buku cengeng, picisan, dan penuh cekikikan. Sebab hidup Pram adalah hidup yang selalu sepi, sunyi, disiakan, sekaligus keras dan berjelaga. Nasib dan respons kehidupan yang tak memanjakan membawanya menjadi buku yang selalu tegak menantang cadas atau apa pun yang mengganggu otonomi tubuh dan pikiran dan ideologinya.
Bahkan kesadaran melawan yang berkobar itu tetap ia perlihatkan hingga ajalnya menjemput. Bagaimana Pram seusai lolos dari maut yang datang menggerayanginya di ICU St Carolus Jakarta pada Sabtu sore ( 29 April 2006 pukul 16.37)—16 jam sebelum keberangkatannya—ia langsung meminta pulang dan berusaha melepaskan semua selang-selang infus yang meliliti tubuhnya dan menusuk-nusuk kulitnya.
Seberapa pun usaha dokter dan keluarga mencegahnya, tetap saja tak berhasil. Dan itulah Pram. Ia akan menolak apa pun yang asing baginya, yang mengisap dan mencucupi keyakinannya. Ia adalah Pramis; individu yang percaya akan kemampuannya dan karena itu ia lampaui otoritas dari siapa pun. Termasuk dokter dan rumah sakit. Sebab yang tahu diri manusia itu adalah dirinya sendiri. Pram sungguh sadar dengan konsepsi itu. “Bahkan dengan Tuhan pun aku tak mau meminta,” katanya.
Mungkin, karena sikap konsistensi yang bertumpu pada diri sendiri itu, ia kerap disalahpahami sebagai buku yang kaku, keras, dan sama sekali tak menarik. Mochtar Lubis, lawan politik sastranya, berkata tatkala ditanyai tentang kesannya dengan Bumi Manusia oleh Denny JA: “Buku apaan itu. Datar. Tak menarik. Hanya dua halaman saya tahan membacanya.” Ajib Rosyidi berkata: “Jangan harap karya Pram ada adegan seks yang menegangkan. Membaca percintaan antara Minke dan Annelis saya sama sekali tak terangsang. Malah lucu menurut saya.”
Pram memang bukan buku yang lemah, gemulai, dan menebar senyum. Ia adalah buku yang tegak menantang siapa pun. Tapi ia berdiri tidak dengan segerombolan serdadu dengan samurai terhunus, tapi menantang dengan senjata bernama buku. Tak ada apa pun selain itu. Pram sendiri kita tahu adalah pribadi yang introvert, tak gaul, dan rendah diri. Bukulah yang membuatnya menyala. Serupa api yang menjilat-jilat. Dan ia datang memang untuk membakar dan melecut semangat perlawanan kalangan muda dan juga dirinya sendiri.
Bagi Pram, menulis adalah melawan. Dan Pram yakin bahwa perlawanan itu bisa dilakukan dengan menulis buku, seperti halnya ia lakukan. Bagi Pram, buku adalah visi, sekaligus sikap. Perjuangan tanpa visi adalah perjuangan yang hanya menanti mati disalip kekuasaan pragmatis setelah riuh pasar malam perjuangan usai diteriakkan. Bukulah yang membuat Pram tidak menjadi massa atau gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terhempas jadi sampah di pantai.
Buku adalah obor, sekaligus kemudi bagi sejarah. Lihatlah, dengan buku Pram menawarkan sejarah yang dipahaminya. Celakanya, sejarah yang dikandung buku Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dikreasi negara.
Dan dengan buku pula, Pram kemudian membangun presepsi yang sama sekali baru tentang apa arti Indonesia , Nusantara, peradaban-peradabannya, serta sejarah orang-orang yang bergolak di dalamnya yang bertarung dalam pusaran sejarah. Terutama sejarah anonim dari orang-orang yang dilindas sejarah.
Dengan begitu, lewat buku Pram menawarkan dunia. Dunia yang diyakininya benar. Dunia orang-orang yang disepelekan sejarah. Orang-orang menyebut usaha ini adalah usaha penulisan sejarah senyap. Yakni, sejarah orang-orang tak terdengarkan. Jika saja bukan usaha Pram menuliskan kembali biografi Tirto Adhi Surjo, mungkin tokoh sentral lahirnya kelompok cendekia yang menulis di awal abad 20-an akan terhapus dari sejarah. Lalu kisah orang-orang anonim, tapi penting dalam proses pembentukan kota , peradaban, dan karakter-karakter yang dikandungnya dibasahi Pram dalam bentuk karya imajinasi. Jadilah dunia dalam buku Pram menjadi dunia tersendiri, merdeka, dan sekaligus merangsang pikiran untuk mendudukkan Indonesia dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan cara menulis buku itulah Pram menawarkan Indonesia kepada dunia. Tak ada yang lain cara efektif yang dipahami Pram selain dengan buku. Terlalu serak dan pendek umur ucapan sebuah pidato atau semua teriakan. Buku yang punya usia memanjang. Buku adalah arsip. Dan arsip adalah nyawa sebuah bangsa, lengkap dengan segerbong kisah-kisah kemenangan dan kekalahannya. Karena itu novelis eksil Ceko, Milan Kundera, menjadi benar ketika berseru: “Untuk menghancurkan sebuah bangsa, bumihangus buku-bukunya. Niscaya bangsa itu akan lupa. Dan saat itulah ia akan hancur.”
Tak hanya itu, dengan buku itu pula Pram memperkenalkan sekaligus memaklumkan dirinya di hadapan publik dunia. Bagi peradaban maju, usaha-usaha yang dilakukan pribadi-pribadi seperti Pram ini mendapat apresiasi dan kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karena peradaban disebut tinggi tatkala masyarakatnya menghormati kerja-kerja arsip dan penulisan. Kerja-kerja itu adalah kerja pengabadian ingatan. Dan Pram melakukan itu dengan tekun dan sungguh-sungguh. Lalu menjelmalah ia menjadi suara lain Indonesia ; suara yang tak seragam sebagaimana yang diyakini rezim yang melingkupinya.
Pram memang berambisi besar menjelaskan Indonesia secara tuntas. Maka dia baca buku-buku sejarah, lalu dia tafsir, dan tafsirnya itu berbuah novel. Namanya novel sejarah. Pram juga tak berkutat pada novel untuk menjelaskan Indonesia . Lalu ia memilih menggunting koran sebagai sebuah kegiatan untuk merangkum Indonesia dalam dunia paling pribadi dan intim Pram. Ia membuat kronik, ia membuat ensiklopedia yang mencitrakan kawasan Indonesia yang beragam, indah, dan kaya tetapi diperintah oleh penguasa-penguasa yang bebal dan jahat.
Kegiatan menulis buku yang setebal-tebal bantal itu dilakukan Pram bukan usaha angin-anginan atau iseng-isengan untuk kebutuhan diri sendiri, tapi diniatkan sebagai tugas nasional. Secara pribadi dan tanpa disokong serta diperhatikan pemerintah, ia bekerja sendiri melakukan itu. Ia bangun sendiri koleksinya, ia rancang sendiri waktu kerjanya dengan kedisiplinan yang luar biasa.
Karena semangat kerja yang dingin, sepi sunyi, dan sendirian itu ia menjadi terlihat sangat individualis dan sekaligus menjadi buku polemis. Sebab ia tak mau menurut dengan asumsi umum yang lazim karena memang masyarakat umum dan pemerintah tak mau tahu dengan dirinya. Dan karakter Pram seperti itu yang menjadikan karakter bukunya menjadi keras dan ofensif.
Sejarah telah mencatat serapi-rapinya bagaimana sikap Pram yang tak mau tunduk kepada aliran kawan-kawan yang dulunya seperjuangan di Gelanggang Merdeka yang juga di sana ia pernah berperan. Ketika ia ditunjuk untuk menjadi pengasuh Lentera, lembar kebudayaan Harian Bintang Timoer yang berafiliasi secara sikap dan mata ideologi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), ia gigih melakukan polemik dan menantang siapa pun di luar posisi dan sikap yang dibangunnya. Salah satu esainya yang keras, panas, dan menantang: “Jang Dibabat dan Jang Tumbuh”, adalah bukti dari mendidihnya polemik. Dan Pram adalah buku yang berada di titik bara itu.
“Dalam menulis saya harus menciptakan kebebasan diri sendiri,” tegasnya. Dan kebebasan itu memang ia ambil. Tak tanggung-tanggung kata-katanya yang ofensif menyeru-nyerukan serangan kepada setiap kelembekan sikap dan ketakjelasan posisi yang itu bisa menghalau jalannya revolusi yang diyakininya membawa Indonesia ke jalur yang benar. Benar atau salah sikap yang diambil Pram dalam irama politik yang menghentak dan meraung-raung waktu itu, Pram dengan kebebasannya sudah memilih posisi dan sikap. Dan pilihan itu mengantarkannya dalam penderitaan yang panjang dan melelahkan.
Alexander Solzhenitsyn
28 September 2008
Prolog
KETIKA suatu masa atmosfer di sekelilingku penuh pejal dengan hal-hal menarik, begitu dinamik dan vital, grafik yang begitu fluktuatif menggemaskan; saat itu cinta menjadi begitu berkuasa dan kuat. rindu menjadi nafsu yang tak terbendung dan engkau, perempuanku, seperti hanyut dalam aliran ragu. Udara seperti padat dengan hawa hidup, sarat dengan bacaan bagi jiwamu yang terus tumbuh. Lalu ketika energi terkuras habis, lalu lelahlah jiwa-ragamu.
SAAT itu kemudian cuaca berubah, udara begitu hampa sehingga paru-paruku kurang udara. Otak menjadi serasa kosong seperti jiwa yang nelangsa. Semua semangat menguap seperti ruang dansa yang sepi seusai pesta. Seperti Tak ada cinta kuhirup dalam nafasku. Begitulah aku mulai meratapi cinta seseorang yang pergi, meninggalkanku sendiri bersama ketiadaan. Tak ada sajak, tiada Puisi saat ini.
KEMUDIAN kesendirian mengundangku untuk datang pada sebuah keramaian, keramaian yang dimana di sana aku mengenalmu. Seketika hati membiaskan sketsa pelangi, pelangi jingga yang membuatku merindui senyum mu, hanya senyum mu..
BEGITULAH, perempuanku, cara semesta bekerja menyeimbangkan dirinya agar tak berat sebelah komposisi di kanvas yang begini luas. Kekosongan-kepejalan menuju keseimbangan. Maka tiada saran lain kecuali memperjuangkannya.
Obrolan Masa lalu.
Kehidupan telah membentuk berbagai macam karakter pada masing-masing pelaku. Memberikan kekayaan tersendiri pada kehidupan yang singkat ini. Pemantik api menyala lalu kepulan asan rokok pun berkerubun di atas ubun-ubun kami. Satu yang bercerita yang lainpun tampak seksama mendengarkan. Layaknya seorang guru yang sedang duduk bersila di depan murid-murid nya. Kemudian mengalir pada penceritaan yang lainnya.
Menunggu sahur judulnya. Ya bercerita sambil menunggu sahur, kumpul bareng kawan-kawan lama. Banyak yang punya kegiatan di luar kota, Jarang bertemu untuk duduk pada satu meja. Di penghujung puasa kawan-kawan mulai pulang ke suatu Gang tempat dimana kami besar dan melalui masa remaja bersama. Menyenangkan sekali malam itu. Tidurpun menjadi tertunda.
Dulu, pembahasan cerita hanya sebatas selera musik, berpakaian, lalu tentang perempuan.
Ya seperti remaja pada umumnya. Mengumpulkan uang receh dari kantong masing-masing pelaku untuk membeli beberapa bungkus rokok. Rokok bermerek aneh yang terkadang membuat kami tertawa ketika menghisapnya. Membahas soal selera musik. Musik Rock yang menjadi Idola. Metallica, Iron maiden, Yngwie Malmsteen, Sepultura, Mr. big selalu menjadi pengiring setia ketika menunggu Shubuh. Poster-poster di dinding kamar pun bernuansa cadas. Sarapan pagi ditemani lagunya si James Hetfield. Menjelang tidur pun mendengarkan jeritan gitarnya Kirk Hammet, paul Gilbert, Yngwie malmsteen. Sanpai-sampai nama belakang pun ditambahi dengan embel-embel “fender stratocaster’. Lagu-lagu mellow seakan diharamkan untuk didengarkan. “Ah ini lagu sayur” ucap kawan-kawan.
Kemudian membahas tentang perempuan. Pembahasan topik yang satu ini seolah merupakan hal yang wajib untuk menemani acara begadang pada waktu itu. Mulai dari cewek cantik tetangga kami sampai ke cewek cantik pada sekolah masing-masing dari kami. Ada yang menjadi sekedar obsesi. Ada juga yang menjadi “target operasi”. Tapi ada juga yang berakhir gigit jari. Semangat untuk tetap menjadi laki-laki tetap mengalir dari kawan-kawan ketika ada satu pelaku yang gigit jari. Dan ada satu hal yang menjadi kebanggaan tersendiri ketika salah satu pelaku berhasil menggaet hati si “target operasi”.
Kini, masing-masing pelaku telah banyak berubah. Mulai dari selera musik sampai ke selera tentang perempuan. Remaja telah ditanggalkan. Cara bersikap, berfikir dan berbicara pun telah berbeda. Kehidupan telah benar-benar membentuk kami. Menjadi manusia yang berkembang, manusia yang beradaptasi dengan lingkungan dan kedewasaan. Sekarang bercita-cita untuk menafkahi tampaknya menjadi agenda wajib dari kami. ( suatu cita-cita yang indah bukan?).
23 September 2008
Pronogrifa..
Dengan argumen-argumen yang cukup kuat. Akan tetapi,
di sini diandaikan bahwa dalam masyarakat seperti
Indonesia UU tersebut masih diperlukan.
Namun, RUU yang sekarang sedang dibahas menurut saya
tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus
dituntut. Pertama, RUU ini tidak membedakan antara
porno dan indecent (tak sopan) dan bahkan
mencampuraduk dua-duanya dengan erotis. Porno adalah
segala apa yang merendahkan manusia menjadi objek
nafsu seksual saja. Tetapi dalam sebuah UU pengertian
filosofis ini harus diterjemahkan ke dalam definisi
yang operasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
Paham indecent malah tidak muncul di RUU ini. Istilah
yang dipakai, "bagian tubuh tertentu yang sen- sual",
menunjukkan inkompetensi para konseptor RUU ini. Yang
dimaksud (penjelasan pasal 4) adalah "antara lain alat
kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara
perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya."
Dan itu semuanya porno? Astaga!
Bedanya porno dan indecent adalah bahwa porno di mana
pun tidak diperbolehkan, sedangkan indecent tergantung
situasi. Alat-alat kelamin primer memang di masyarakat
mana pun ditutup. Tetapi bagian tengah tubuh perempuan
di India misalnya tidak ditutup. Tak ada pornonya
sedikit pun (dan perut bagian tengah terbuka pada anak
perempuan sekarang barangkali tak sopan tetapi jelas
bukan porno). Lalu, "bagian payudara perempuan" mulai
di mana?
Paha di kolam renang tidak jadi masalah, tetapi orang
dengan pakaian renang masuk di jalan biasa bahkan
didenda di St Tropez. Yang harus dilarang adalah yang
porno, sedangkan tentang indecency tak perlu ada
undang-undang, tetapi tentu boleh ada
peraturan-peraturan (misalnya di sekolah, dan bisa
berbeda di Kuta dan di Padang).
Sedangkan "erotis" bukan porno sama sekali. Erotis itu
istilah bahasa kesadaran. Apakah sesuatu itu erotis
lies in the eyes of the beholder (tergantung yang
memandang)! Bagi orang yang sudah biasa, perempuan
dalam pakaian renang di sekitar kolam renang tidak
erotis dan tidak lebih merangsang daripada perempuan
berpakaian penuh di lain tempat. Tetapi perempuan
elegan, berpakaian gaun panjang, kalau naik tangga
lalu mengangkat rok sehingga 10 cm terbawah betisnya
jadi kelihatan, bisa amat erotis.
Tarian erotis mau dilarang? Tetapi apakah ada tarian
yang tidak erotis? Seni tari justru salah satu cara
(hampir) semua budaya di dunia mengangkat kenyataan
bahwa manusia adalah seksual secara erotis dan
sekaligus sopan. Jadi erotis juga tidak berarti tak
sopan. Hal erotis seharusnya sama sekali tidak menjadi
objek sebuah undang-undang. RUU seharusnya tidak
bicara tentang "gerak erotis", "goyang erotis".
Yang harus dilarang adalah tarian porno. Karena itu
porno harus didefinisikan secara jelas, tidak dengan
mengacu pada "sensual" atau "merangsang" atau
"mengeksploitasi".
Saya mengusulkan bahwa definisi porno menyangkut (1)
alat kelamin, payudara perempuan (itu pun ada
kekecualian, jadi tidak mutlak; apalagi tak perlu
embel-embel "bagian"), dan, kalau mau, pantat; dan (2)
melakukan hubungan seks untuk ditonton orang lain.
Kedua, dan itu serius: Moralitas pribadi bukan urusan
negara. Menurut agama saya memang semua pencarian
nikmat seksual di luar perkawinan sah adalah dosa.
Jadi kalau saya sendirian melihat-lihat gambar porno,
itu dosa. Tetapi apakah negara berhak melarangnya?
Bidang negara adalah apa yang terjadi di depan umum.
Kalau orang dewasa mau berdosa di kamar sendiri, itu
bukan urusan negara. Begitu pula, apabila saya beli
barang porno untuk saya sendiri, itu tanda buruk bagi
moralitas saya, tetapi bukan urusan negara (tetapi
tawaran barang porno tentu boleh dilarang).
Yang perlu dikriminalkan adalah segala urusan seksual
dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki,
mendownload gambar, apalagi terlibat dalam aktivitas,
yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks,
dengan anak harus dilarang dan dihukum keras.
Semoga catatan sederhana ini membantu membuat
undang-undang yang memenuhi syarat dan, lantas, juga
bermanfaat. *
--------------------------------------------------
Penulis adalah Franz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan, guru
besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
Masih banyak persoalan yang harus segera diselesaikan di negara ini. Masih banyak Pekerjaan Rumah para pejabat Negara. Negaraku semakin lucu saja. kenapa harus meributkan hal-hal yang bagi saya belum terlalu penting untuk diributkan. pornografi punya beragam sketsa dan tak bisa di pandang dari satu satu sudut retina saja. Tapi yang jelas tak ada satu orang pun yang bisa melarang manusia untuk menjadi manusia. apalagi Rhoma Irama, he..
Aku Ingin
oleh: Sapardi Joko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
saya yakin kesederhanaan akan berujung kebahagiaan, seperti cerita tentang cinta yang sederhana. Cinta yang mengalir begitu saja. seperti air. Bahkan kayu pun tak tahu bahwasanya api akan menjadikannya abu.
menarik untuk diperbincangkan, tentang sebuah kesederhanaan. Sedangkan cinta? Bisa kah dia menjadi sederhana? seperti Rumah Sederhana atau Rumah Sangat Sederhana. tapi menurut saya RS atau RSS adalah sebuah bentuk penyederhanaan. sedangkan Cinta tak bisa disederhanakan, Menyederhanakan cinta sama saja mengekang kemerdekaan perasaan sendiri. maaf harus saya akhiri sebelum menjadi terlalu melankolis dan terkesan romantis.
21 September 2008
sketsa hujan
Jauh di seberang jembatan awan selepas hujan sepertinya menari menyambut maghrib hari ini. Banyak orang yang tahu akan keindahan jembatan kota itu.
Namun hari itu tak banyak orang yang tahu indah sore itu. Sore yang terbalutkan gerimis, gerimis genit menyapa bumi.
Sore itu hanya aku, dia lelaki yang berpayung, becak bertutup orange menjadi pelaku, pelaku sketsa.
Sketsa sore selesai hujan.